Hukum  

Imam Prayogo: Koruptor Dana Covid-19 Tidak Bisa Divonis Mati

Dibaca : 1260

BINEWS JABAR || KAB.BEKASI – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga superbody anti rasuah yang berperan ganda sebagai Penyidik di tingkat pertama, sekaligus sebagai Jaksa Penuntut Umum dalam sidang pengadilan adhoc tipikor.

 

Demikian dikatakan Praktisi Hukum Advokat Imam Prayogo kepada wartawan di Cikarang, Kabupaten Bekasi, Selasa (12/5/2020), menyikapi pernyataan Ketua KPK  Firli Bahuri yang akan menuntut pidana mati para koruptor dana Covid-19 dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi III DPR RI di Komplek Parlemen Senayan Jakarta (29/4/2020).

 

Imam Prayogo berpendapat, dalam Undang-Undang Tipikor memang ada tercantum opsi ancaman maksimal pidana mati bagi koruptor. Aturan ini tertuang dalam UU No. 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, tepatnya dalam Pasal 2 ayat (2) undang-undang ini.

 

Pasal 2 ayat (1) UU tipikor menerangkan: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar”.

 

Dalam ayat (2) nya menyatakan: “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu maka pidana mati dapat dijatuhkan”.

 

Ketua Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (POSBAKUMADIN) Kabupaten Bekasi menegaskan, penerapan hukuman mati itu tidak sembarangan dijatuhkan. Hukuman tersebut, kata dia, hanya dapat diterapkan dalam keadaan tertentu dengan syarat-syarat seperti dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Topikor.

 

“Yang dimaksud keadaan tertentu yaitu keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi, yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukan bagi penanggulangan  keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan yang meluas, penanggulangan akibat krisis ekonomi dan moneter serta pengulangan tindak pidana korupsi,” paparnya.

 

Lebih lanjut Imam menjelaskan, yang perlu diperhatikan di sini unsur-unsur dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU tipikor yang menjadi dasar pemberatnya adalah: keadaan bahaya, bencana alam nasional, kerusuhan yang meluas, krisis ekonomi dan moneter, pengulangan tindak pidana korupsi.

 

“Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor ini tidak ada penjelasan unsur pandemi akibat wabah penyakit. Jadi, pidana mati menurut teori ilmu hukumnya tidak bisa diterapkan terhadap perkara koruptor dana Covid-19,” ujarnya.

 

Sebagaimana diketahui sistem hukum Indonesia menganut mazhab hukum Eropa Continental, maka asas legalitas berlaku dalam tata hukum pidana positif Indonesia yang berdasarkan sejarah hukumnya diadopsi dari adagium legendaris Von Feuerbach yg berbunyi “Nullum delictilum nulla poena sine praevia lege poenali” yang diartikan menjadi “tidak ada tindak pidana (delik), tidak ada hukuman tanpa didasari peraturan yang mendahuluinya.

 

Kemudian prinsip/asas legalitas ini dimasukan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional Indonesia yang berbunyi: “Bahwa suatu perbuatan tidak bisa dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada”.

 

“Maka berdasarkan asas legalitas sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ancaman pidana mati dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor tidak bisa diterapkan dalam kasus/perkara tindak pidana korupsi dana Covid-19, karena tidak memenuhi unsur deliknya,” tandas Imam Prayogo.

 

Sebelumnya, telah diutaran oleh Ketua KPK Firli Bahuri akan bertindak keras dengan memberikan tuntutan pidana mati kepada koruptor dana Covid-19, walaupun memang hak KPK sebagai penuntut umum dalam persidangan untuk memaksakan diri menerapkan dakwaan dan tuntutan pidana mati terhadap koruptor dana Covid-19.

 

“Akan tetapi hal ini akan menjadi lain ketika Penasehat Hukum Terdakwa membuka eksepsi dan pleidoinya sudah pasti akan terjadi perdebatan yang cukup panjang diseputar norma-norma, teori-teori dan kaidah-kaidah hukumnya,” pungkas Imam Prayogo. (Red)