BINews || Jabar – Karawang,- Setelah harga gabah anjlok, sekarang kabar buruk untuk para petani khususnya di kecamatan Pakisjaya Kab. Karawang menyeruak setelah Perum Jasa Tirta II mengirim surat kepada UPTD Dinas Pertanian kecamatan Pakisjaya untuk menghimbau para petani di kecamatan tersebut agar tidak melakukan aktivitas menanam padi dimusim tanam II atau musim tanam gadu.
Dalam suratnya PJT II menyampaikan bahwa Tinggi Muka Air Jatiluhur sudah berada dibawah ambang batas normal. Dalam surat itu pula PJT II menegaskan tidak akan bertanggungjawab atas segala bentuk kerugian petani bila tetap memaksakan menanam di musim tanam gadu ini tidak tercukupi air. Namun demikian PJT II tidak menjelaskan secara detail TMA saat ini serta pihak mana saja yang menjadi konsumen dari PJT II yang mendapat prioritas.
Keadaan ini memicu reaksi keras dari Serikat Pekerja Tani Karawang (SEPETAK) yang diketahui 7 desa di kecamatan Pakisjaya merupakan basis organisasi ini.
Melalui Ketua Umumnya, Wahyudin, SEPETAK tidak akan mentolerir sikap PJT II dan pemkab Karawang dalam masalah ini. Dalam waktu dekat meski masih dalam keadaan pandemi dan sedang puasa, SEPETAK akan melancarkan aksi besar-besaran ke gedung PJT II dan pemda Karawang bila tidak ada solusi dari para pemangku kebijakan.
“Ini menyangkut nasib puluhan ribu orang petani”, ujar Wahyudin dengan nada geram. Kepada awak media Jumat, 23 April 2021.
Menurut Wahyudin lagi, dua tahun lalu saat ribuan hektar sawah di Pakisjaya mengalami kekeringan SEPETAK sempat menginisiasi pertemuan dengan para pemangku kebijakan air, di BAPPEDA agar menghidupkan kembali peran Komisi Irigasi untuk mencari solusi komprehensif atas kemungkinan terjadi kembali kekeringan ditahun-tahun mendatang. Tapi pemda dan PJT II tidak menunjukan keseriusannya sehingga KOMIR pun tidak bisa menjalankan fungsinya dengan baik serta enggan melibatkan petani atau serikat tani untuk secara bersama-sama berupaya menangani kekeringan. Karenanya, ditahun 2020 kekeringan kembali melanda”.
Diketahui, waduk Jati Luhur merupakan waduk terbesar se Asia Tenggara dengan daya tampung air sebesar 12,9 miliar m3/tahun. Meski daya tampung air demikian besarmya tetapi para pemangku kebijakan sumber daya air tidak dapat mengoperasionalkan tata guna air secara efektif dan efisien. Sehingga hampir setiap tahun selalu tersiar kabar ribuan hektar sawah dilanda bencana kekeringan.
Sementara itu menurut Miftahudin, salah satu petani yang juga selaku pengurus SEPETAK desa Solokan memaparkan penyebab kekeringan ekstrim areal persawahan di kabupaten Karawang.
Pertama, Buruknya Jaringan irigasi. Kondisi irigasi yang jarang mendapat perhatian publik kondisinya sudah kian memburuk. Kondisi saluran terbuka irigasi ini diperparah dengan tumpukan sampah di banyak titik sehingga akan sangat mempengaruhi luas penampang basah, lebar dalam saluran, kedalaman air dan lebar permukaan air. Penurunan kualitas irigasi tersebut tentunya akan mempengaruhi kecepatan aliran rata-rata air menuju sawah sehingga derajat kehilangan air akan jauh lebih besar baik disebabkan oleh rembesan maupun faktor evaporasi.
Kedua, Kapitalisasi air. Kebijakan tata kelola air Jati Luhur berada di tangan perusahaan bernama Perum Jasa Tirta (PJT). Sebagai sebuah perusahaan, PJT dituntut untuk berperan mengakumulasi kapital. Saluran irigasi kali Malang adalah cermin dari operasional bisnis sumber daya air. Jaringan irigasi tersebut bisa kita amati mulai dari Bendung Curug Klari sampai Jakarta pasokan airnya relatif stabil dan kualitas irigasinya lebih baik ketimbang saluran yang diorientasi untuk pertanian mulai dari Bendung Leuweung Seureuh sampai Pakisjaya. Sebab, sepanjang wilayah yang dilalui irigasi Kali Malang berderet Kawasan Industri yang menjadi konsumen PJT. Tak heran jika kemudian prioritas pasokan air lebih mengutamakan yang berorientasi profit.
Ketiga, sistem tanam. Pemerintahan gagal mendorong kemajuan sistem pertanian teknis kita. Tata guna air bagi kepentingan pertanian sejak dulu sudah memiliki pedoman acuan golongan air dengan 5 golongan jadwal tanam. Pada kenyataannya, dengan tanpa adanya kepastian jadwal tanam telah memicu semrawutnya tata guna air yang dipaksakan memasok areal persawahan sekurangnya di 12 golongan tanam. Semrawutnya jadwal tanam juga karna faktor kebijakan dirjen Tanaman Pangan mengenai Tambahan Luas Tanam sebanyak kurang lebih 30 ribu hektar Kondisi ini tentunya menyebabkan pemborosan air sekurangnya 10 meter kubik per detik pada kecepatan debit air yang harus digelontorkan ke irigasi. Fenomena inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang turut mempercepat penyusutan air di waduk Jati Luhur.
Miftahudin menyesalkan sikap PJT II dan pemda yang tidak serius menangani kekeringan setiap memasuki musim tanam gadu yang sudah berlangsung selama puluhan tahun. “Jadi bila musim tanam gadu ini kami tidak bisa menanam maka kami akan meminta pertanggungjawaban dari PJT II dan pemerintah Cellica-Aep melalui aksi massa” pungkas Miftahudin. (Riandi & Rekan)